"Perubahan terjadi karena adanya suatu gerakan atau tindakan yang kita lakukan, bukan karena suatu kebetulan"
"IKRAFEO membantu anda untuk membuat suatu perubahan agar terjadi perbaikan yang membawa kita pada suatu keselarasan hidup "

Minggu, 01 Agustus 2010

burung merak

Keanekaragaman Hayati
Menyibak Daya Tahan Merak
Selasa, 27 Juli 2010 | 03:33 WIB
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Merak hijau (Pavo muticus muticus) jantan membentangkan sayapnya untuk menarik perhatian sang betina di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta. Merak hijau di Indonesia hanya tersebar di Pulau Jawa dan merupakan satwa langka yang dilindungi undang-undang.

"Saya justru mencari tahu mengapa merak jawa hijau masih ada," kata Jarwadi B Hernowo, peneliti dan dosen Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Jarwadi menyampaikan hasil penelitiannya ini pada Simposium Asosiasi Biologi Tropika dan Konservasi, 19-23 Juli 2010.

Merak jawa hijau (Pavo muticus muticus) salah satu jenis burung paling diburu yang kini nyaris punah. Di tengah kerusakan serta menciutnya hutan yang menggerus ruang-ruang hidup bagi aneka satwa burung itulah Jarwadi berusaha menyibak rahasia daya tahan salah satu spesies merak ini di pulau terpadat Indonesia, yaitu Jawa.

Jarwadi mengembangkan riset atau studi kasus di Taman Nasional Baluran, Alas Purwo, serta Meru Betiri di wilayah Kabupaten Banyuwangi dan Jember, Jawa Timur. Ia juga meneliti sebaran merak jawa hijau di hutan-hutan produksi komoditas jati di sekitar taman-taman nasional tersebut.

Di Jawa Barat, Jarwadi mengembangkan risetnya di kawasan hutan Buah Dua, Sumedang. Berikut riset di hutan-hutan pinus di sekitarnya, termasuk hutan di lereng Gunung Cikuray, Garut.

Tidak bergantung

Melalui risetnya, Jarwadi telah mengingatkan pentingnya untuk mengetahui apa saja yang membuat merak hijau jawa masih bisa tetap bertahan hingga sekarang. Dengan mengetahuinya, Jarwadi membuka peluang bagi pemerintah dan masyarakat untuk tetap melestarikan merak jawa hijau.

”Kesimpulannya, merak jawa hijau masih bisa bertahan selama ini karena tidak bergantung kepada hutan,” kata Jarwadi.

Merak jawa hijau masih bisa ditemui Jarwadi di pinggir-pinggir hutan atau taman-taman nasional. Merak jawa hijau itu mendapatkan suplai makanan di padang rumput serta semak belukar yang terdapat di ruang terbuka.

Merak jawa hijau adalah hewan herbivor. Mereka memakan dedaunan rerumputan serta bebijian dari buah semak belukar.

Hutan merupakan tempat berlindung. Merak jawa hijau bertengger di dahan pepohonan hutan yang tinggi. Namun, betina merak jawa hijau ketika bertelur dan mengerami telur-telurnya kembali ke semak belukar.

”Rahasia lain daya tahan merak jawa hijau terletak pada populasi kelompok yang tidak terlampau besar sehingga kelompok-kelompok kecil tersebar hingga bisa mencapai peluang bertahan hidup yang lebih besar,” kata Jarwadi.

Satu kelompok merak jawa hijau bisa berkisar 30 individu. Karakter burung berbobot badan 3 kilogram hingga 5 kilogram ini berpoligami. Satu pejantan merak jawa hijau mengawini 4-7 merak jawa hijau betina. Keunikan lain dijumpai pada tingkat usia populasi merak jawa hijau dalam suatu kelompok.

Karakter usia merak jawa hijau berupa piramida terbalik. Usia merak jawa hijau muda lebih sedikit jika dibandingkan dengan merak jawa hijau tua.

Ada peluang bahwa merak jawa hijau pada usia muda itu lebih suka keluar dari kelompoknya dan hidup mengembara untuk mencari pasangan hidup.

Reog Ponorogo

Menjumpai merak jawa hijau nan molek di Jawa kini barangkali merupakan sebuah kemewahan.

Namun, keindahan bulu-bulunya masih bisa kita nikmati sebagai aksesori reog ponorogo. ”Satu reog ponorogo menggunakan sedikitnya 1.000 helai bulu merak jawa hijau,” kata Jarwadi.

Warna bulu jenis merak ini hijau mengilap.

Satu ekor merak jawa hijau memiliki sekitar 150 helai bulu.

Jenis satwa ini dilarang untuk ditangkap dan diperdagangkan. Kegiatan penangkarannya pun masih teramat langka.

Jumlah populasi di Taman Nasional Meru Betiri pada 2003-2004 berkisar 30 ekor. Di Baluran pada 1995 diketahui masih ada sekitar 100 ekor, sekarang diketahui berkurang menjadi sekitar 75 ekor. ”Di Alas Purwo berbeda. Di sana justru terjadi peningkatan,” kata Jarwadi.

Menurut dia, merak jawa hijau di Alas Purwo pada 1998 diperkirakan mencapai 40 ekor. Pada 2007 ternyata meningkat menjadi 80 ekor.

Peningkatan populasi merak jawa hijau ini diduga akibat berkurangnya perburuan. Pembukaan hutan rapat untuk tumpangsari juga menambah ruang hidup bagi merak jawa hijau.

”Saat ini tidak terlambat bagi pemerintah atau kelompok masyarakat yang ingin melestarikan merak jawa hijau,” kata Jarwadi.

Jenis merak, menurut Jarwadi, terbagi berdasarkan warna hijau dan biru. Jenis merak biru masih terdapat di India, sedangkan merak hijau masih tersebar di Jawa, Myanmar, Malaysia, dan Indochina.

Fragmentasi hutan

Jarwadi menyebutkan, fragmentasi hutan adalah ancaman serius bagi keberlangsungan keragaman genetika merak jawa hijau ataupun satwa liar lain. Fragmentasi hutan adalah berupa kondisi terbelahnya hutan oleh pengalihan fungsi untuk perkebunan, pertanian, atau permukiman.

Fragmentasi menjadikan hutan tak lagi berupa satu keutuhan. Hutan makin terbagi-bagi menjadi bagian lebih kecil. Pada akhirnya, peluang interaksi populasi merak jawa hijau terhadap populasi lainnya terpisahkan. Peluang untuk kawin silang menjadi kian sempit.

”Fragmentasi hutan menyebabkan merosotnya gen-gen merak jawa hijau akibat kawin dengan anggota populasi yang sama,” kata Jarwadi. Anggota populasi yang sama kemungkinan besar sedarah karena merak jawa hijau berpoligami.

Akibat dari perkawinan sedarah itu memerosotkan kualitas genetika merak jawa hijau. Ancaman berikutnya, daya tahan merak hijau jawa akan semakin melemah sehingga akan menuju kepunahan. Hal ini berlaku pula bagi jenis satwa lain. Jarwadi mencemaskan keberadaan merak jawa hijau sekarang.

Asosiasi Biologi Tropika dan Konservasi (The Association for Tropical Biology and Conservation/ATBC) merupakan perhimpunan para biolog dunia. Konferensi asosiasi ini dimulai pada 1963 dan Indonesia sudah terlibat menjadi peserta sejak awal.

Tahun ini merupakan kali pertama Indonesia menjadi penyelenggara dan tuan rumah konferensi ATBC. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Universitas Indonesia (UI) ditunjuk untuk mengorganisasi penyelenggaraan kegiatan yang melibatkan 900 ilmuwan di bidang biologi dari sekitar 60 negara tersebut.

Sebanyak 40 simposium digelar untuk mempresentasikan 464 naskah selama empat hari (20-23 Juli 2010). Menurut Kepala LIPI Lukman Hakim, hasil riset lainnya dituangkan ke dalam poster yang digelar mencapai 200 lembar meski pada kenyataannya jauh lebih sedikit dari jumlah tersebut.

Peneliti senior dari Lembaga Center for International Forestry Research (Cifor), Daniel Murdiyarso, mengatakan, persoalan penting sekarang ini salah satunya adalah makin hilangnya berbagai biodiversitas atau keanekaragaman hayati. Kehilangan biodiversitas secara tidak langsung bisa berdampak terhadap kelangsungan pangan.

Presiden ATBC Profesor Frans Bongers, dalam konferensi pers pencanangan Deklarasi Bali dari konferensi ATBC 2010, menyatakan, dengan banyaknya keanekaragaman hayati yang terjaga dengan baik, kita dapat berbuat banyak untuk mencapai hal-hal yang lebih baik.

Melalui risetnya, Jarwadi telah mengingatkan pentingnya untuk mengetahui apa saja yang membuat merak hijau jawa masih bisa tetap bertahan hingga sekarang. Dengan mengetahuinya, Jarwadi membuka peluang bagi pemerintah dan masyarakat untuk tetap melestarikan merak jawa hijau.(Nawa Tunggal)

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More