Musim durian telah jauh pergi, begitu juga mangga, musim rambutan baru tiba sekira dua bulan lagi, satu-satunya musim yang panjang usianya di negeri ini ternyata tawuran.
Kenangkanlah, sejak membuka tahun 2010 di bulan Januari, udara kita telah dipenuhi berbagai huru-hara. Pada Minggu (3/1) dini hari di Cirebon , dua kelompok pemuda berbeda kampung, yaitu Kampung Kesunean Utara dan Cangkol, yang sama-sama bermukim di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, terlibat perkelahian massal.
Bulan Januari pun ditutup oleh tawuran para suporter kesebelasan yang berlaga pada Liga Indonesia. Mereka yang bergelut adalah Sesama suporter Persija, Persijap dengan Persija, Persija dengan Persib, belum lagi bonek yang bikin resah di sepanjang jalan yang mereka lalui.
Memasuki bulan Februari, tgl 17 tepatnya, tawuran mahasiswa pecah di kampus Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan. Dua kelompok yang bertikai berasal dari fakultas teknik dan fakultas peternakan.
Pada 6 maret tawuran antar pemuda terjadi di Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, yang menyebabkan satu orang tewas. Frederik Lusa Saba Neno, mahasiswa Universitas Kristen Kupang asal Belu yang menghuni asrama Bougenvile, di Kelapa Lima, tewas terpanah. Tanggal 12 Maret, dua kelompok pelajar perang batu di sepanjang Jalan Raya H. Edi Sukma, di Desa Pasirmuncang Kecamatan Caringin, Jumat siang. Tawuran pelajar ini mengakibatkan kemacetan di sepanjang jalan dari arah Ciawi hingga perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi.
Seminggu kemudian, tawuran antar desa terjadi di Kabupaten Cirebon, Selasa (20/4) dinihari. Akibatnya sejumlah warga mengalami luka serta rumah mengalami rusak.
Sehari berikutnya, dua kelompok warga di Mataram, Nusatenggara Barat, Rabu (21/4) tawuran. Dua orang terluka. Warga Punia Sabe dan Punia Keteng saling lempar batu serta botol usai menonton hiburan dangdut.
Yang menyedihkan adalah saat anak-anak SD juga telah mempraktikan tauladan buruk dari para seniornya, belasan anak usia belasan tahun yang masih mengenakan seragam sekolah dasar terlibat tawuran di bawah fly over Jalan Latumenten, Jakarta Barat, Sabtu (22/5) siang. Mereka saling lempar batu. Belum diketahui masing-masing kelompok yang terlibat tawuran tersebut.
Bulan Mei akhir, suporter Persija Jakarta, Jakmania, terlibat tawuran dengan warga di sekitar Pejompongan, Jakarta Pusat. Mereka saling melempar batu.
Selain Jawa, Makassar rupanya menjadi wilayah langganan tawuran. Memasuki bulan Juni, tawuran antarmahasiswa satu kampus di Universitas Negeri Makassar, Selasa malam (15/6) menyebabkan dua korban terluka dan kritis di Rumah Sakit Polri Bhayagkara. Kedua korban itu adalah mahasiswa jurusan teknik otomotif, Dodo Rifaldi (20), warga Jalan Paopao, dan Suardi bin Amirudin, warga Jalan Muhjirin Nomor 23 Makassar.
Sebulan kemudian, tawuran antara kampung Kesunean Utara dan Cangkol Selatan Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon, Jawa Barat, kembali terjadi, Minggu (11/7/2010) dinihari.
Membuka bulan Agustus, Dua kelompok pemuda di Jalan H. Makadompit di depan Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Ahad (1/8) dini hari, kembali tawuran. Empat pemuda terluka akibat terkena busur.Dua kelompok pemuda di Jalan H. Makadompit di depan Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Ahad (1/8) dini hari, kembali tawuran. Empat pemuda terluka akibat terkena busur..
Sehari kemudian, gara-gara saling ejek antarpelajar memicu tawuran di sepanjang Jalan Kramat, dekat markas Kepolisian Sektor Jakarta Pusat, Senin (2/8). Puluhan pelajar dari dua Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) perang batu di tengah jalan. Akibatnya, lalu lintas dari arah Senen menuju Matraman macet total.
Musim tawuran kali ini memang panjang, sangat panjang dan sudah sampai pada titik mengerikan. Data BPS 2008 memaparkan: 2283 desa di Indonesia mengalami perkelahian massal, konsentrasinya di Jabar (270 desa), Jateng (262 desa), Papua (230 desa), NTT (165 desa) dan Jatim (176 desa). Belum lagi tawuran pelajar, mahasiswa, antar kampung.
Menurut seorang sosiolog asal Jerman, Emille Durkheim, tawuran termasuk perilaku menyimpang atau deviance. Faktor penyebab deviance sendiri beraneka ragam sehingga diperlukan analisis dengan perspektif sosiologi konflik untuk menemukan upaya rekonsiliasi yang mampu mengamodasi permasalahan tersebut.
Tapi rupanya teori Tuan Durkheim di atas memang rada kurang pas untuk negeri ini. Lihatlah, berapa kali rekonsiliasi terjadi di Papua, tapi nyatanya perang suku masih terjadi. Berapa puluh kali para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pelajar, guru, dikumpulkan untuk mengakurkan mereka yang bersengketa, toh tawuran masih saja terjadi.
Komitmen itulah saya kira yang jadi soal. Jika di Barat tempat Tuan Dur bermukim, semua orang menghormati komitmen, di negeri ini rasanya menganggap komitmen tak lebih dari obrolan ringan yang dengan gampang dilupakan.
Tentu ada soalnya mengapa kita amat mudah mengabaikan komitmen. Salah satu penyebabnya adalah suri tauladan yang kita dapatkan dari para tokoh yang juga menganggap remeh komitmen. Simaklah beberapa peristiwa, betapa komitmen untuk mengabdi kepada bangsa dan negara oleh para pejabat ternyata cuma omong kosong yang berujung pada banyaknya pejabat yang masuk bui karena kasus korupsi.
Belum lagi contoh buruk yang dipamerkan oleh para anggota dewan yang kerap berantem dan menjadi sajian khalayak di televisi. Belum lagi situasi lainnya, terutama ekonomi, yang amat mengimpit bangsa ini, yang membuat sebagian warga putus asa dibuatnya.
Untuk tawuran pelajar, mungkin saja anggapan yang menyatakan bahwa prosedur pendidikan di Indonesia berpengaruh terhadap koflik yang marak terjadi, benar adanya. Pendidikan di negeri ini cenderung memaksakan seorang pelajar untuk berpikir sesuai dengan kurikulum yang dibuat oleh pemerintah. Dan kurikulum cenderung mengeksploitasi kemampuan berpikir dari pelajar. Akibatnya para pelajar merasa dipenjara oleh fakta sosial pendidikan yang ada sehingga ingin melakukan hal yang menurut mereka di luar dari fakta sosial tersebut dan bersifat deviance.
Bukankah pendidikan sebenarnya hanyalah sekumpulan konsep dari rumus, teori, dan ujian? Tapi mengapa kita mempertaruhkan masa depan bangsa kita sedahsyat seperti sekarang ini? Pemerintah dengan pongah memaksakan kehendaknya untuk menyelenggarakan Ujian Nasional, yang di sebaliknya juga minta ampun banyaknya kecurangan yang terjadi.
Sambil berharap-harap cemas, moga-moga musim tawuran yang panjang ini cepat pergi. Entahlah siapa yang akan menggebahnya dari bangsa ini. Mungkin para seniman yang selama ini kerap mengharumkan nama bangsa--tapi sering pula diabaikan oleh negara--bisa mulai diberdayakan secara maksimal, setidaknya untuk meneduhkan hati dan pikiran bangsa ini. Atau..
Jodhi Yudono